Oleh Ayu Apriliyani
Dalam kehidupan sekarang tidak jarang kesetaraan dan keadilan gender sering menjadi masalah sosial. Tidak pelak, perbedaan gender kerap dijadikan sebagai alasan untuk memosisikan laki-laki jauh di atas perempuan. Padahal, sabda Nabi Muhammad SAW justru menyatakan, bahwa “derajat” ibu tiga tingkat dibanding ayah. Lantas bagaimana kesataraannya?
Tidak dapat dimungkiri, bahwa di Indonesia masih banyak hambatan dalam pendekatan kesetaraan gender, kenapa? Hal itu karena adanya peraturan perundang-undangan yang masih diskriminatif, perlindungan hukum yang dirasakan masih kurang, dan adanya budaya (adat istiadat) yang bias akan gender. Contoh ketidakadilan gender atau diskriminasi gender, yaitu kurangnya pemahaman masyarakat akibat adanya sistem struktur sosial dimana salah satu jenis (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban.
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Istilah gender ini pertama kali dikemukakan oleh para ilmuwan sosial. Mereka bermaksud menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial).
Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis, tanpa pertimbangan selanjutnya. Kesetaraan gender juga tidak diartikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri, tanpa harus dibebani konsep gender.
Keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia dipelopori oleh Raden Ajeng (RA) Kartini sejak tahun 1908. Perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang pendidikan dimulainya sebagai wujud perlawanan atas ketidakadilan terhadap kaum perempuan pada masa itu.
Saat itu, Presiden Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, yakni 21 April sebagai Hari Kartini dan masih diperingati hingga sekarang. Peringatan Hari Kartini merupakan wujud untuk mengenang perjuangannya mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, khususnya di bidang pendidikan.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Penetapan peringatan kelahiran Kartini sebagai hari besar, sempat diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak terjadi pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini, seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, dan lain-lain.
Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini hanyalah di Jepara dan Rembang saja. Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita.
Sementara pihak yang pro mengatakan, bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional. Artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya, dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Kartini telah berjuang untuk mendapatkan kesetaraan hak perempuan dengan laki-laki di masa lalu. Ia pun dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita pribumi kala itu. Kartini adalah sosok pelopor persamaan derajat perempuan nusantara yang mendedikasikan intelektualitas, gagasan, dan perjuangannya untuk mendobrak ketidakadilan yang dihadapi.
Jadi, bila saat ini marak isu pengarusutamaan gender, nampak bahwa kesetaraan dan keadilan gender tidak muncul begitu saja, melainkan dari zaman kolonial sudah muncul, dipelopori oleh sosok perempuan bernama RA Kartini. Dampaknya, hingga kini antara laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, namun tidak terlepas dari konteks cara pandang harus tetap disesuaikan dengan “kodrat perempuan”.
Pemikiran Kartini tentang kondisi perempuan pribumi tertuang dalam surat-suratnya yang sebagian besar berisi keluhan atau gugatan tentang budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Ia ingin perempuan mempunyai kebebasan untuk menuntut ilmu dan belajar layaknya kaum muda Eropa.
Di dalam suratnya Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bersekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Setelah bersekolah di sekolah dasar berbahasa Belanda, Kartini ingin melanjutkan pendidikan lebih lanjut, tetapi perempuan Jawa saat itu dilarang mengenyam pendidikan tinggi.
Sampai detik ini, tidak seorang pun yang tidak mengenal RA Kartini. Raden Adjeng Kartini dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan nasional yang memelopori kebangkitan perempuan pribumi. Ia dilahirkan dalam keluarga bangsawan Jawa di Hindia Belanda (sebutan Indonesia kala itu).
Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara, Jawa Tengah, segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Pada 119 tahun yang lalu Kartini telah wafat di usia mudanya. Namun, perjuangan dalam memajukan kaum perempuan masih diteruskan hingga kini. Berbagai propagasi tentang emansipasi wanita selalu marak tak pernah terkikis oleh waktu. Emansipasi wanita yang diusung oleh Kartini agar kecerdasan wanita diakui dan diberikan kesempatan yang sama untuk menerapkan ilmu yang dimilikinya sehingga wanita lebih percaya diri dan tidak direndahkan oleh kaum pria.
Namun di era modern saat ini, emansipasi wanita telah mengalami pergeseran makna. Jika dulu Kartini berjuang agar wanita bisa mendapatkan haknya, kini emansipasi wanita sebenarnya dapat diwujudkan dengan langkah-langkah yang lebih mudah.
Emansipasi wanita tidak semata-mata berfokus pada kesetaraan antara hak laki-laki dan perempuan untuk mendapat kesempatan yang sama dalam berbagai bidang. Namun, lebih ke bagaimana wanita dapat berkembang dan maju dari waktu ke waktu tanpa menghilangkan jati dirinya. Maka, untuk mengenang jasa Kartini, pada tanggal 21 April diperingati setiap tahunnya. {*}
*) Ayu Apriliyani, Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Darussalam Blokagung, Banyuwangi.