SURABAYA (RadarJatim.id) — Bertempat di Galeri Merah Putih, Kompleks Balai Pemuda Alun-alun Surabaya, Jl. Gubernur Suryo 5 Surabaya, perupa Arik S. Wartono, menggelar pameran tunggal karya-karyanya, pada 24-30 Agustus 2024. Menampilkan 17 karya lukisan dengan media cat akrilik, cat air, tinta, pena, dan serbuk logam mulia (termasuk emas) di atas kanvas, pameran tunggal ini dibuka oleh seniman Katirin, Sabtu (24/8/2024).
Galeri buka setiap hari mulai pukul 09.00 hingga 21.00 WIB, gratis untuk umum. Berikut catatan dan narasi ringan Arik S. Wartono yang memamerkan karya lukisnya selama sepakan.
*****
Rumi menari sambil berdzikir, demi membuktikan, bahwa setiap gerak adalah kehendak Allah. Setiap gerak fisik-tubuh sekaligus mental ia dikembalikan pada upaya penyadaran atas kuasa-Nya, bahwa tak ada hal sedahsyat dan seagung apa pun sekaligus seremeh-temeh apa pun yang lepas dari kuasa, kehendak, dan izin Allah.
Seperti halnya tarian Rumi atau Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī (Bahasa Persia: جلالالدین محمد رومی), juga dikenal dengan nama Jalāl ad-Dīn Muhammad Balkhī (30 September 1207 – 17 Desember 1273),
melukis juga gerak, upaya kesadaran menggerakkan sel-sel tangan dan anggota tubuh lainnya (mata dll) sekaligus syaraf motorik dan sensorik yang terhubung pada sel otak dan qolbu. Gerak anggota tubuh, otak , qolbu secara fisik sekaligus mental saat melukis, tidak akan pernah lepas dari campur tangan kuasa Allah. Jika Allah tak berkehendak, tentu proses melukis tak akan pernah terjadi dan karya seni berupa lukisan tak akan pernah tercipta.
Dalam konsepsi ini, sesungguhnya siapa yang mencipta karya seni? Ketika seorang seniman berupaya menangkap sesensi kehidupan yang tergelar di alam semesta ini kemudian memindahkannya dengan segenap daya cipta, rasa, karsanya ke dalam media seni, apakah sang seniman bisa lepas dari kuasa, kehendak, izin Allah?
Bahkan sekalipun karyanya itu justru berupa upaya menafikan eksistensi Allah, karena secara esensial sesungguhnya siapa yang menggerakkan sel-sel yang hidup atau bahkan siapa sesungguhnya yang menghidupkan sel? Mustahil ia hidup otomatis begitu saja tanpa ada yang menghidupkan, sedangkan robot pun pasti ada seseorang atau sesuatu sebagai kreatornya sekaligus ada sumber energi yang menggerakkannya.
Maka, ketika saya, Arik S. Wartono melukis, secara azali siapa sesungguhnya pencipta lukisan karya-karya saya? Saya sepenuhnya sebagai entitas yang utuh-bebas, ataukah justru ada entitas lain yang lebih berkuasa atas kehendak terciptanya karya-karya lukis itu?
Saya mempercayai nalar logika sekaligus kemustahilan, kosmos sekaligus chaos. Maka, mustahil mengingkari nalar logis, bahwa pasti ada campur tangan Allah pada setiap kehendak dan tindakan dalam “mencipta” karya-karya lukis itu. Bahkan, setiap ide-gagasan yang terlintas dalam kepala sekaligus segala yang terserap dalam indera rasa, yang kemudian diimplementasikan dalam karya lukisan, mustahil bisa lepas dari kuasa, kehendak, dan izin Allah.
Dengan begitu, maka kesadaran untuk ingat Allah dalam setiap perbuatan fisik dan mental, termasuk proses melukis, sehingga karya lukisan tercipta, adalah wajib, mengingat Allah dengan melibatkan kesadaran diri adalah berdzikir.
Apa pun yang berdzikir, maka ia hidup, sekalipun ia teridentifikasi secara keliru sebagai “benda mati”, misalnya batu, kayu, gunung, air dan sebagainya. Sebaliknya, ketika manusia tidak lagi memiliki kesadaran untuk ingat Allah, secara esensial ia sesungguhnya telah mati, esensi dirinya cuma “mayat berjalan”.
Semua objek yang tampil dalam karya sesungguhnya berdzikir. Pun mereka (karya) secara esensial telah menjadi subjek, dan posisi perupa hanyalah entitas yang merangkai dalam kreasi estetik karya seni rupa yang disebut ‘lukisan’. Dan, pada saat berproses melukis, maka alat-bahan dan material seni yang digunakan dalam melukis tentu terlibat dalam upaya mengingat Allah, aktivitas berdzikir.
Maka, seperti halnya Rumi yang menari sambil berdzikir, saya pun demikian, melukis sambil berdzikir dan karya lukisan yang dihasilkan pun menjadi entitas yang berdzikir.
Bukankah setelah karya seni tercipta ia berubah menjadi subjek mandiri seperti seorang bayi yang terlahir dari “rahim” seniman? Semoga karya-karya dzikir ini bermanfaat. {*}
Salam Budaya!
Gunung Wangi Jogja, Purnama 19 Agustus 2024.