Oleh Moh. Husen*
Oleh seseorang, saya disarankan agar lebih membumi dalam menulis. Selama ini tulisan saya dianggapnya sering menggunakan bahasa langit. Awalnya saya terkejut, karena di setiap saya menulis–bukan hanya jarang sekali menggunakan bahasa langit–malah saya tidak tahu bahasa langit itu apa dan bagaimana.
Ternyata membumi yang dia maksud bukan berarti tulisan saya selama ini tidak bisa dipahami pembacanya. Melainkan kalimatnya belum bisa digapai, kurang nonjok, terlalu “kromo inggil”, dan sebaiknya “ngoko” saja agar gamblang. Misalnya, kalau mengkritik DPR, bilang dengan tegas mengkritik DPR, bahkan sebut nama anggota DPR yang dimaksud.
Kalau saya menulis pimpinan harus bisa menjadi contoh, maka pimpinan di situ masih berada di awang-awang nun jauh di atas sana. Masih belum jelas: apakah pimpinan kereta api, pimpinan warung kopi, atau pimpinan janda kembang. Tapi kalau saya menulis, pimpinan DPR harus bisa menjadi contoh, baru bisa dipahami.
Nah, saya justru berpikir sebaliknya: masa DPR perlu dikritik? Masa mereka perlu diwaspadai sedemikian rupa, seakan-akan mereka tidak mengerti RUU mana yang sebaiknya disahkan dan ditolak? Masa DPR tidak mengerti, bahwa mereka sedang diberi amanah oleh rakyat, bukan malah menganggap rakyat salah pilih dan terlalu mudah dibeli?
Bahkan DPR itu, kadang-kadang saja lho, sekali lagi, kadang-kadang saja lho, tertangkap basah oleh KPK terkait kasus korupsi miliaran rupiah. Ups, jangan ketawa. Saya sedang serius, agar tulisan saya ini makin tajam dan membumi. Dan demi membumi itu, saya mengkritik DPR dengan cara memujinya. Banyak jalan mengkritik DPR, tidak hanya dengan demo datang ke kantornya.
Saya jadi ingat, suatu ketika untuk sebuah forum diskusi, saya buatkan tema judulnya “Pemimpin atau Pedagang”. Dalam acara itu saya ngomong, bahwa pemimpin itu konsentrasinya selalu mengupayakan kesejahteraan seluruh masyarakat. Sedangkan pedagang konsentrasinya lebih kepada mencari laba pribadi.
Saat itu, saya memberikan penegasan, bahwa acara ini tidak untuk mengkritik siapa-siapa. Acara ini hanyalah belajar bersama bagi yang hadir mengenai pemimpin itu apa, pedagang itu apa. Pemimpin itu baik, pedagang juga baik. Bagi yang mau berbagi untuk kesejahteraan masyarakat luas, silakan “mendaftar” jadi pemimpin. Bagi yang ingin laba pribadi, silakan “mendaftar” jadi pedagang.
Andai saat itu, misalnya saja, lagi ramai-ramainya pemeriksaan anggota DPR terkait dugaan korupsi dana hibah melalui kelompok masyarakat alias pokmas, mungkin agar lebih membumi serta supaya lebih jelas dalam mengkritik DPR, judulnya akan saya buat secara vulgar tanpa tedeng aling-aling menjadi: DPR atau Pedagang.
Saya percaya DPR itu siap dikritik dan tidak antikritik. {*}
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Rogojampi, Banyuwangi