Oleh Ali Mursyid Azisi, MAg
Panggung pemilihan nakhoda atau pucuk pimpinan baru Indonesia sudah di depan mata. Persaingan partai-partai politik dalam mengusung jagoan calon presiden dan calon wakil presiden masing-masing kian bergaung di berbagai sudut ruang publik.
Baliho-baliho kampanye pun telah terpampang di sisi dan perempatan jalan dan bahu jalan lainnya, begitu pun dengan kampanye virtual kian fleksibel menyasar generasi muda. Terlepas dari kampanye tiap partai dan calon pemimpin, hal mengejutkan baru-baru ini muncul tercium publik adalah berpihaknya Nahdlatul Ulama (NU) kepada salah satu kandidat pemimpin bangsa ini.
Pasalnya, dalam pertemuan tertutup di salah satu hotel di Surabaya, Ketua Umum PBNU melakukan konsolidasi, memanfaatkan struktural para ketua Pengurus Wilayah dan ketua Pengurus Cabang NU se-Indonesia untuk memilih Prabowo-Gibran pada pemilu yang dijadwalkan pada 14 Februari 2024. Tentu ini bertolak belakang dengan ketegasan PBNU sebelumnya di berbagai forum umum.
Mengapa tidak? Jauh sebelum perhelatan kampanye pemilu digencarkan, KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, beberapa kali menegaskan jangan gunakan NU sebagai kendaraan politik. Begitu pula statemen Sekretaris Jendral PBNU Saifullah Yusuf yang acap disorot media, bahwa PBNU netral dalam Pilpres 2024. Akan tetapi, lain di media, lain pula di di belakang layar. Ibarat sebuah drama, PBNU memasang dua muka menyambut perhelatan pemilu. Dramaturgi petinggi NU sebelumnya mampu meyakinkan sebagian besar umat Nahdliyyin, namun perlahan mulai terbongkar misi-misi besar petinggi NU saat ini.
Istilah netral yang dilayangkan para petinggi struktural NU pada awalnya diartikan sebagai upaya merangkul semua partai politik dekat dengan PBNU. Namun faktanya, statemen tersebut mengandung makna lain yang telah terbocorkan ke publik, yaitu merangkul semua, kecuali Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dinakhodai Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Petinggi NU dan PKB sendiri sebelumnya terlibat beberapa konflik terkait perbedaan sikap politik. Kiai Yahya sebelumnya bertekad menjaga NU dan berupaya netral dan tidak memanfaatkannya sebagai kendaraan politik dengan membuat statemen-statemen di forum-forum tinggi. Namun, kini mulai terlihat kepentingan-kepentingan petinggi NU yang condong terlibat dalam politik kekuasaan dengan bermain dua muka.
Politik Kebangsaan, Bukan Politik Kekuasaan
Pada dasarnya, NU sendiri tidak antipolitik. Menjalankan aktivitas politik merupakan suatu kewajiban untuk mencapai sistem sosial maupun kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Prinsip politik yang diusung oleh para muassis NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan tokoh-tokoh lainnya, bukanlah politik kekuasaan, melainkan politik kebangsaan. Politik kebangsaan sendiri merupakan sistem politik yang berlandaskan nilai-nilai Islam tentang bagaimana bernegara dengan baik dan benar, tanpa mencederai pihak-pihak tertentu.
Prinsip menjaga keutuhan dan stabilitas politik berbasis kebangsaan inilah yang menjadi poros utama penerapan sistem politik. Dalam berpolitik pun perlu adanya etika, seperti yang dinyatakan oleh KH M.A. Sahal Mahfudz (Rais ‘Aam PBNU 1999-2014). Cetusannya itu memuat tiga entitas politik tingkat tinggi NU atau yang dikenal dengan siyasah ‘aliyah samiyah. Konsep ini dicetuskan dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur, untuk menjaga Khittah NU 1926.
Kiai Sahal Mahfudz berpendapat, bahwa politik disebut sebagai siyasah safilah (politik tingkat rendah) merupakan porsi partai politik bagi warga negara, termasuk pula warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU, jauh dari pada itu. Sebagai organisasi keagamaan, NU memang dituntut harus steril dari aktivitas politik demikian. Mahalnya NU dalam pengambilan sikap politik pada dasarnya adalah diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.
Upaya-upaya penerapan politik berbasis kebangsaan sebelumnya yang masyhur diterapkan oleh Gus Dur, mantan presiden Indonesia sekaligus pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU dua periode. Gus Dur dalam aktivitas politiknya tidak melenceng dari apa yang telah dirumuskan oleh para pendahulu NU yang berbasis kebangsaan dan bersikap dewasa di setiap momen pemilu. Etika dan pola seperti inilah yang patut diimplementasikan oleh warga NU dalam berpolitik untuk menjaga nama baik NU, baik dari sisi struktural, kultural, maupun eksternal organisasi.
Bersama Menjaga Marwah NU
Perlu diingat kembali, sebelum hadirnya PKB, NU sendiri sempat menjadi partai politik 1952 dan pada 1955 pertama kali mengikuti pemilu. Setelah menempuh masa kejayaan partai NU di kancah politik praktis, seruan kembali ke Khittah 1926 dimunculkan pada 1979, akan tetapi terhenti. Lalu pada Munas di Situbondo 1983, KH Ahmad Shiddiq merumuskan konsep dasar kembali ke Khittah 1926 (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010).
Langkah-langkah yang diterapkan Kiai Yahya terkait intruksi kepada pengurus struktural NU di tingkat wilayah hingga cabang, seakan NU tidaklah steril dan condong seperti partai politik dengan mengusung salah satu paslon tanpa alasan atau dalil fikih yang kuat.
Persoalannya adalah, siapa yang meredam situasi politik di ranah sosial jika terjadi ketegangan? Seperti dikatakan oleh Prof Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) dalam suatu podcast beberapa waktu lalu, bahwa NU yang selama ini berperan sebagai penengah, peredam, dan organisasi moderat, jika berpihak secara terang-terangan kepada salah satu paslon dan tidak bersikap bijak, maka akan berpotensi menuai konflik di tubuh Nahdliyyin dan sesama warga negara Indonesia.
Dari tindakan petinggi NU yang demikian, akankan muncul kembali gerakan upaya kembali ke khittah 1926? Artinya, NU kembali menjadi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan berbasis sosial-kemasyarakatan), atau memiliki peran ganda?
Tulisan ini bukan bermaksud mengkritik habis-habisan PBNU sebagai organisasi warisan para ulama. Sebagai seorang warga Nahdliyyin dan santri, tentu perlu ada upaya bersinergi menjaga marwah NU bersama-sama. Pada hakikatnya, aktivitas percaturan politik petinggi NU bukanlah prinsip dan tujuan pada pendiri NU.
Sebagai anak dan santri yang baik, sudah merupakan kewajiban untuk ikut menjaga orang tua untuk tidak melakukan kesalahan. Jika upaya mengingatkan ini salah, maka dapat satu pahala, jika benar maka dapat dua pahala.
Oleh karenanya, upaya bersuara menjaga nama baik organisasi besar berbasis moderat ini merupakan sebuah keharusan, sekali pun oleh kiai atau warga NU kultural. Spirit kembali khittah 1926 dan menjaga marwah merupakan sebuah upaya yang harus dihidupsuburkan di tubuh struktural maupun kultural NU, hingga nantinya NU, para iiai dan santri betul-betul berperan menjaga ukhuwwah, perdamaian, dan penengah di tengah konflik politik nasional. {*}
*) Ali Mursyid Azisi, MAg, Peneliti di Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation & Anggota LTN NU Jawa Timur 2022-2024.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.