Oleh Hamim Farhan
Menjelang akhir Januari 2023, sempat marak pemberitaan di media massa seputar keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang meresahkan pengguna jalan, berikut reaksi Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani yang menyoroti kinerja hingga ultimatum terhadap Satpol PP. Langkah reaktif pun ditunjukkan Satpol PP Gresik yang kemudian menjalankan agenda penertiban PKL yang berjualan di sepanjang trotoar dan bahu jalan.
Hal tersebut menggugah penulis untuk ikut memberikan tanggapan seputar keberadaan PKL dan kaitannya dengan kebijakan pemerintah Kabupaten, khususnya Pemda Gresik. Sementara di sisi lain, maraknya eksekusi penertiban dan bahkan penggusuran atau relokasi PKL di berbagai kota besar masih saja menunjukkan adanya geneologi persoalan dengan masa lampau dan memiliki corak yang hampir sama dengan apa yang terjadi sekarang, bahkan mungkin di masa yang akan datang.
Ada beberapa pertimbangan dan alasan yang melatarbelakangi kajian penulisan ini yang sengaja mengangkat tentang penertiban, penataan atau istilah resolusi konflik antarkebijakan pemerintah daerah tentang penertiban, penataan, dan relokasi atau penggusuran PKL, serta perlawanan PKL sebagai kaum marjinal perkotaan. Adapun pertimbangan-pertimbangan itu di antara:
Pertama, pembangunan adalah proses perubahan terbuka dan terkait dengan aktivitas rakyat secara terencana untuk mencapai tujuan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan bersama. Dan pembangunan itu haruslah mengupayakan peningkatan pendapatan rakyat, mewujudkan ekonomi kerakyatan, serta dapat mewujudkan ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat (Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor: 2 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Timur tahun 2001-2005, hlm. 1-2).
Kedua, menunjukkan semakin meningkatnya jumlah kuantitas PKL sebagai pelaku ekonomi di sektor informal di berbagai kota besar sebagai konsekuensi logis dari pesatnya laju pembangunan dan perkembangan kaum marjinal perkotaan. Satu sisi sebagai aset sosial dan basis peningkatan perekonomian rakyat yang perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah, namun pada sisi lain dianggap menggangu ketertiban dan pemandangan tata kota dan cenderung bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait tata kelola dan estetika keindahan kota.
Ketiga, kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap PKL tentang ketertiban (baca: relokasi dan penggusuran) yang terkesan represif perlu ditinjau kembali dan dinilai kurang menguntungkan bagi semangat pembangunan ekonomi kerakyatan, daya kreasi masyarakat dan bahkan dianggap bertentangan dengan manifesto politik ekonomi pemberdayaan ekonomi rakyat (Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel – Th. 1 – No. Juli 2002).
Keempat, pada tataran di lapangan, pelaksanaan sosialisasi ketertiban dan pengamanan yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai instrumen pemerintah terhadap PKL sering menimbulkan ketegangan sosial, bahkan menjurus pada potensi konflik terbuka antara Satpol PP dan PKL sehingga berakibat terhambatnya relokasi dan program pemerintah itu sendiri, dan fenomena ini terjadi di berbagai daerah kota besar di Indonesia (Urban Poor Lingkage Indonesia: Rabu, 1 Februari 2006. Kompas: 19, 22, 24 Januari 2006).
Kelima, sejak dasawarsa 1970-an, penggusuran PKL telah berkembang menjadi keputusan pemerintah kota di berbagai kota besar di Indonesia. Kenyataan ini memperhadapkan secara amat keras format penertiban versi pemerintah melawan kelompok perekonomian masyarakat di sektor informal dirasa perlu untuk me-review kembali secara kritis komprehensif atas manfaat dan implikasi yang ditimbulkan berlangsungnya penggusuran PKL. Diharapkan, maksud baik pemerintah bisa berjalan dengan sukses, tanpa harus merugikan pelaku ekonomi di sektor informal yang ada.
Keenam, perlunya menemukan konsep penataan jangka panjang dan tidak sepotong-potong (setengah hati) serta motode pendekatan dan resolusi konflik sebagai problem solving atas kebijakan pemerintah kota dan PKL yang berdimensi konflik. Dengan demikian, terciptanya sinergitas untuk mencapai tujuan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan bersama sebagai wujud pembangunan Indonesia yang berkeadilan sosial.
Pendekatan Win-win Solution
Namun yang jelas, bagi pedagang, punya kesempatan menggelar dagangan, laku laris, mendapatkan rezeki halal untuk mencukupi keluarga, membiayai pendidikan bagi putra-putrinya adalah ”amanat penderitaan rakyat” yang mesti dijalani sebagai pilihan utama, bahkan alternatif dari keterbatasan sebagai takdir sosial (PHK masa lampau, sulitnya mendapatkan pekerjaan layak dll).
Meskipun kadang tidak pernah tebersit cita-cita untuk mendapatkan prestise ”adipura” dalam aktivitasnya. Tak heran, unggapan sederhana ”sing penting saget nedho” (yang penting bisa makan) menjadi ”falsafah hidup” mereka, walau kadang terkesan ”sembarangan” menggelar dagangannya pada tempat yang tidak semestinya.
Sementara bagi pemerintah adalah bagaimana punya kesempatan untuk mendapatkan prestisie Adipura sebagai bagian dari ikhtiyar politis bagi program pembangunan tata kota. Karenanya tidak heran, melalui Satpol PP, sebagai instrumen pemerintah diberikan amanat untuk menjalankan penertiban, keindahan, dan pembersihan kota dari hal-hal yang dianggap menggangu pemandangan perlu segera untuk dibereskan. Bila perlu seterilisasi kota dari PKL menjadi program ”sunnah muakkad” kalau tidak dibilang ”wajib” yang harus dijalankan.
Masing-masing alasan dan argumen menjadi sama-sama kuatnya, karena berangkat dari kepentingan yang berbeda. Namun, tidak ada salahnya untuk terus-menerus perlunya memaknai kembali, terutama bagi pemerintah tentang terminologi PKL sebagai kaum penggangu. Begitu juga paradigma dan kriteria yang diusung tentang ketertiban, kebersihan, keindahan kota.
Apakah sudah utuh, komprehensif dan benar memberikan manfaat bagi semua pihak? Ataukah masih terdapat ketimpangan cara pandang antara pemerintah atas PKL, adanya dominasi pejabat atas rakyat jelata., sehingga semangat politisasi pemerintah terkesan kurang utuh dan sepotong-potong atas PKL sebagai penggerak sekaligus pelaku sektor informal ekonomi kerakyatan? Ataukah pemerintah memang benar-benar mengantarkan dengan sepenuh hati hingga mereka survive?
Upaya menerapkan kebijakan yang saling menguntungkan kedua pihak antara pemerintah daerah dan PKL secara ideal tidaklah muda. Sebab, kebijakan tidak bisa selalu memuaskan semua pihak. Misalnya, untuk menguatkan survival PKL, dibutuhkan ruang yang memadai dan layak. Sementara karena keterbatasan ruang yang disediakan oleh pemerintah, menjadi persoalan sendiri yang perlu dicarikan solusi jalan tengah.
Pengawasan dan pemetaan zonasi ruang bagi sektor ekonomi informal menuntut segera dirumuskan strategi jangka panjang. Sehingga usaha PKL terwadai dan negara sebagai representasi pemerintah daerah hadir membersamai.
Zona hijau sebagai lahan penampungan PKL (daerah wajib), zona kuning sebagai zona pengawasan waspada yang bersifat temporer. Pada jam-jam tertentu PKL boleh menggelar lapak dagangannya dan jadwal kapan ruas jalan bisa dibuka dan ditutup, serta zona merah (daerah terlarang) karena pertimbangan keamanan, estetika keindahan kota, kawasan tertib lalu lintas, ruang penyelenggaraan pendidikan dan kepentingan umum bersama lainnya.
Dengan demikian, jika itu dilakukan secara konsisten, akan terwujud efek saling memberikan manfaat kedua bela pihak antara kebijakan pemerintah dan survive-nya PKL yang tertib. Diskoperindag merumuskan penataan PKL, Satpol PP menertibkan, dan Dishub melakukan pemetaan akses tata ruang.
Tentunya sinergitas grand programm antar dan inter-OPD menjadi suatu yang urgent dan penting yang segera diwujudkan. {Reflesi Akhir Tahun 2022, Genjot Sinergitas OPD di Lingkungan Pemkab Gresik (RadarJatim.Id, 1/1/2023)}. Jika sudah demikian, grand programm pembangunan yang telah dirumuskan memiliki dampak yang berdaya guna dan berhasil guna serta terpenuhi target output dan outcome yang terealisasikan, semoga! (*)
Gresik, 6 Maret 2023
*) Penulis adalah sosiolog dan pemerhati kebijakan publik, serta akademisi, tinggal di Gresik.