Oleh Moh. Husen*
Puasa itu tidak enak bagi siapa saja. Jangan main klaim dan mengira, bahwa orang miskin pasti suka puasa karena hari-harinya telah karib dan terbiasa dengan ketidakjelasan: jam berapa besok pagi baru bisa makan. Jangan dikira mereka kebal dengan rasa lapar dan haus.
Demikian pula orang kaya. Jangan dipastikan tidak “nervous” ketika diwajibkan tidak makan minum dan berbagai hal yang membatalkannya mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Padahal, menu bukanya jelas, dan makan minum setiap harinya juga jelas.
Mereka belum tentu kuat bersabar khusus ketika ke luar rumah, sekali lagi khusus ketika keluar rumah saja, untuk tidak nyamil di hadapan saudaranya yang lapar. Malah bisa-bisa mereka segera cari pasal: “Orang puasa kok minta dihormati?!”
Memang,para pelaku puasa tidak minta dihormati. Namun para pelaku puasa juga harus rendah hati dan tidak perlu sombong dengan cara menulis besar-besar di spanduk tepi jalan: “Silakan terang-terangan makan minum, kami tetap berpuasa.”
Tentu hidup akan lebih indah bila kita saling menghormati dan saling belajar menahan diri. Di situlah pelajaran puasa. Ada waktunya makan, ada waktunya ngomong, ada waktunya diam, ada waktunya protes keras dan reformasi. Puasa membimbing kita bersabar dengan waktu.
Nah, terkait bersabar dengan waktu, suatu hari seorang sarjana jebolan luar negeri lupa makan sahur. Tapi dia memutuskan nekat berpuasa. Mungkin karena bulan Ramadhan hanya setahun sekali, atau entahlah. Pokoknya dia ambil keputusan berpuasa jalan terus meskipun tanpa sahur.
Siang dia mulai merasakan lapar dan haus yang sangat luar biasa. Dia alihkan rasa lapar itu ke berbagai macam aktivitas. Tapi tetap lapar juga. Akhirnya menjelang sore dia menyerah. Bukan menyerah membatalkan puasanya. Melainkan dia hadapi si lapar itu “face to face”.
Dia diam. Dia tak mengalihkan perhatian. Kemudian dia merasakan waktu berjalan begitu melambat. Begitu melambat, dan melambat. Di saat itulah dia “melihat” dan “mendengar” hal-hal baru. Semuanya terjadi dengan proses, dengan sebab, dan tak ada yang instan. Semua ada alasannya.
Ibarat fotografer, dengan tidak lagi mengalihkan rasa lapar itu, slow speed di kameranya menjadi aktif, sehingga hasil potretnya bisa menampakkan dengan jelas tetesan air hujan satu per satu. Bahkan pemotor yang melaju kencang pun, bisa terpotret dengan jelas. Tidak buram.
Lantas bagaimana kalau puasa yang kita jalani hasilnya malah lapar dan haus belaka? Tak mampu memotret kebodohan dan kebusukan diri sendiri, apalagi memotret lingkungan sekitar? Kalau baca media, hasilnya jelas: Si Anu Terdakwa Kasus Korupsi. Kalau puasa, jelas apanya?
Hasil pengalaman puasa orang lain tidak harus sama persis dengan puasa yang kita jalani. Artinya kita tidak usah terlalu merasa gagal andai efek kasat mata maupun ruhaniah dari pengalaman orang lain ketika berpuasa, tidak terjadi kepada kita
Maka Tuhan menyuruh orang yang telah percaya kepada-Nya untuk berpuasa. Hal ini menunjukkan puasa bersifat sangat prifat, hanya antara Dia dan yang percaya saja. Sedangkan pahala atau balasan Allah kepada hamba-Nya, meskipun pasti, namun tidak bisa dibatasi oleh informasi apa pun yang kita terima.
Balasan Allah sangat rahasia. Jangankan pahala puasa, bahkan hanya Allah yang mengetahui dengan sebenarnya siapa yang berpuasa atau yang pura-pura berpuasa. So, marilah kita menjalani puasa dengan hati gembira dan merdeka, ikhlas karena Allah semata. {*}
Banyuwangi, 27 Maret 2023
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, tinggal di Rogojampi-Banyuwangi,