SIDOARJO (RadarJatim.id) – Polemik mutasi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dilingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo pada 22 Maret 2024 lalu mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik ASN, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo, masyarakat umum maupun para pengamat politik dan kebijakan publik.
Selain membuat keresahan di internal ASN, mutasi jabatan tersebut dianggap telah melanggar Undang Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Untuk itu, Founder Institute of Research and Public Development (IRPD) Nanang Haromain meminta Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali untuk segera membatalkan Surat Keputusan (SK) Bupati Sidoarjo tentang mutasi jabatan pada 22 Maret 2024 lalu, Jum’at (19/04/2024).
“Kala mengacu pada UU 10 tahun 2016 tentang Pilkada, maka mutasi yang dilakukan Bupati Sidoarjo pada tanggal 22 Maret 2024 itu telah melanggar ketentuan perundangan,” katanya.
Dijelaskan oleh Nanang bahawa tolok ukurnya bukan dilihat dari tanggal Surat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang keluar pada 29 Maret 2024. Tetapi aturan yang lebih tinggi, yaitu UU 10 tahun 2016 yang berlaku sejak ditetapkan.
“Jika dihitung waktu 6 bulan itu, seharunya dari 22 Maret 2024 sampai 22 September 2024 sudah tidak boleh ada mutasi. Seharunya paling lambat tanggal 21 Maret 2024, mereka melakukan mutasi,” jelasnya.
Nanang kembali menjelaskan bahwa pada pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, hanya disebutkan pergantian jabatan bisa dilakukan dengan persetujuan resmi dari Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri).
Jika ada yang melanggar, maka akan dikenakan sanski administrasi dan pidana. Adapun sanksi adsministrasi, jika gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana, diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan sanksi pidana pada pasal 188 berbunyi: setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 190 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada juga telah menggariskan ancaman pidana bagi kepala daerah yang melakukan penggantian pejabat dalam kurun waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan.
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta,” terangnya.
Komisioner KPU Sidoarjo periode 2014-2019 itu mengungkapkan bahwa selain persoalan indikasi pelanggaran UU Pilkada, Bupati Sidoarjo juga harus mempertimbangkan ekses hukum dan mal administrasi terkait SK Bupati Sidoarjo tentang mutasi jabatan yang tidak jelas statusnya tersebut.
“Ada kesan mengulur-ulur waktu sambil mencoba mendapatkan persetujuan Kemendagri untuk memperkuat kedudukan hukum SK mutasi tertanggal 22 Maret 2024,” ungkapnya.
Nanang menyarankan agar SK Bupati Sidoarja terkait mutasi tertanggal 22 Maret 2024 itu dibatalkan terlebih dulu, baru kemudian berkonsultasi dengan Kemendagri untuk meminta persetujuan kembali.
“Ini lebih aman daripada terus menerus memperpanjang SK mutasi,” ujarnya.
Selain itu, Nanang juga mengingatkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sidoarjo untuk segera mempersiapkan piranti penanganan pelanggaran UU Pilkada ini, dalam hal ini Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gamkumdu) Pilkada 2024.
“Tanpa ini, Bawaslu (Sidoarjo, red) tidak bisa berbuat lebih jauh. Meski jelas didepan mata ada indikasi pelanggaran UU Pilkada,” tegasnya.
Lebih jauh menurut Nanang bahwa DPRD Sidoarjo berkewajiban mengingatkan Bupati Sidoarjo apabila keputusannya tidak sesuai aturan, maka langkah seharusnya adalah membatalkan SK tersebut. Terlebih lagi, di banyak daerah yang melaksanakan Pilkada sekaligus mutasi pada 22 Maret 2024 lalu telah mengeluarkan surat pembatalan. (mams)