GRESIK (RadarJatim.id) – Para tokoh lintas profesi di Gresik kembali berkumpul dan mendiskusikan isu terkini yang berkembang di kota santri ini. Sayangnya, sejumlah pejabat di jajaran Pemkab Gresik yang diundang, termasuk Bupati Fandi Akhmad Yani dan Sekda Achmad Washil Miftahul Rachman, serta beberapa pejabat eselon II, tak seorang pun yang hadir.
Beberapa pejabat Pemkab Gresik yang juga diundang tetapi tak hadir, di antaranya, Kepala Bappeda Muhammad Munir, Kepala BPPKAD Muh. Reza Pahlevi, termasuk Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Abu Hassan, dan beberapa pejabat lainnya.
Dihelat di Rumah Makan Apung Rachmawati di Jalan Wahidin Sudirohusodo, Selasa (16/5/2023) malam, pertemuan yang dikemas dalam halal bihalal dan diskusi publik itu, panitia mengaku kecewa dengan ketidakhadiran para pejabat Pemkab Gresik. Padahal, mestinya Pemkab berterima kasih kepada masyarakat yang berupaya menggalang masukan terkait layanan publik yang seharusnya justru dilakukan Pemkab Gresik.
“Kami sudah mengundang. Ada Pak Bupati, Pak Sekda, Kepala Bappeda, juga beberapa pejabat eselon II lainnya untuk hadir sebagai penyeimbang diskusi. Tapi, sebagian besar memang izin tidak bisa hadir karena berbagai alasan. Sebenarnya kami gelo juga beliau-beliau tidak bisa hadir. Padahal, peserta yang kami undang sangat beragam, bahkan ada pakar dari Jakarta juga yang kami hadirkan,” ujar Hamim Farhan, inisiator pertemuan para tokoh lintas profesi tersebut.
Dikatakan, hampir 50 tokoh lintas profesi diundang untuk mengikuti diskusi publik tersebut. Mereka di antaranya datang dari kalangan kiai/ulama, politisi, pengacara, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi dari beberapa kampus, pondok pesantren, dan beberapa elemen masyarakat lainnya.
Menurut Hamim, sebagai civil society, berbagai elemen masyarajat sudah seharusnya mengawal kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepentingan publik. People power, lanjutnya, mestinya efektif untuk mengawal kebijakan publik, baik dalam skala nasional maupun daerah. Sayang, kata Hamim, kuatnya propaganda oligarki, peran itu nyaris hilang.
“Kalau ingin menumbangkan peran oligarki, ya harus diciptakan oligarki garis lurus. Kira-kira begitu,” ujar Hamim.
Tema diskusi yang diangkat lumayan “seksi”, yakni “Bedah Kebijakan APBD Gresik 2023; Dana Politik Melesat, Pelayanan Publik Tersendat?”. Diskusi yang dipandu Slamet Sugianto, Presiden Pusat Kajian Analisis Data (PKAD) itu, di antaranya dihadiri oleh Wahyudi Almaroki, Direktur Pamong Institut Jakarta, Tursilowanto Hariogi, mantan Asisten III bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat dan mantan Kepala Dinas Perhubungan Pemkab Gresik.
Hadir juga Ketua Partai Gerindra Gresik dr Asluchul Alif, Ketua DPP Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (Abpednas) HR Hendry, KH Mubarok Damanhuri, Pengasuh Pesantren Ainul Yaqin, serta sejumlah pengusaha dan tokoh lainnya.
“Dalam forum ini tidak ada pembicara tunggal atau pembicara kunci. Ini forum egaliter, semua boleh ngomong apa saja asal konstruktif demi perbaikan layanan publik yang baik. Dan, satu hal yang kita kunci dan sepakati, forum ini tidak boleh dibawa ke dimensi politik praktis. Kalau misal nanti Pak Hamim (inisiator forum lintas profesi Hamim Farhan,Red) mau, (dalam tanda petik) menjual ke parpol, mari kita jegal rame-rame. Maklum sekarang ini kan masuk tahun politik yang sebentar lagi ada pemilu,” tegas Slamet.
Dikatakan, saat ini ruang-ruang gelap dana politik sangat terbuka dan tersebar di mana-mana. Ironisnya, regulasi yang ada tidak mampu memantau, termasuk oleh lembaga yang berkompeten sekelas KPU maupun Bawaslu. Kalaupun Bawaslu bisa melakukan, itupun hanya memantau ketika aktivitas politik sesuai tahapan yang secara normatif ditetapkan dan berlangsung sesuai tahapan pemilu.
Direktor Pamong Institut Jakarta, Wahyudi Almaroki, mengatakan, biaya politik di Indonesia dalam beberapa dekade hingga sekarang ini tidak hanya mahal, tapi sangat mahal. Mengapa mahal, sambung Wahyudi, karena sejak awal proses politik bagi calon politikus yang mau duduk di kursi dewan atau calon kepala daerah harus sudah mengeluarkan dana besar untuk mendapat tiket dari partai pengusung dalam bentuk “mahar politik”. Biaya yang sangat besar masih harus disiapkan dalam menapaki tahapan-tahapan politik selanjutnya, hingga sampai pelaksanaan pencoblosan atau pemilu atau pemilihan kepala daerah.
“Maka, tidak heran kalau sudah jadi, mereka dengan berbagai cara berupaya mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Ini konsekuensi sistem demokrasi yang memang dikenal high cost politics,” ungkapnya.
Ia menambahkan, peran oligarki yang umumnya dari kalangan pengusaha/pemilik modal, sangat menentukan dalam dunia politik di Indonesia. Saking kuatnya kendali oligarki, tandasnya, sampai-sampai seorang ketua partai pun tak kuasa mengajukan diri sebagai calon presiden atau kepala daerah.
“Termasuk mencalonkan anaknya, tentu akan kesulitan dan harus manut pada oligarki,” katanya.
Dokter Asluchul Alif, Ketua Partai Gerindra berharap, belanja daerah yang terkait dengan kebijakan publik, Pemda harus fokus dan memberikan prioritas kepada aspek-aspek yang harus diutamakan. Menurut dia, alokasi anggaran tidak bisa dibagi rata untuk semua sektor, sehingga hasilnya tidak bisa maksimal.
Ia mengakui, saat ini progres pembangunan dalam banyak aspek relatif lamban. Hal itu, karena progres naiknya sangat kecil, sehingga seakan tidak ngefek dalam kehidupan sehari-hari di lapangan.
“Saat ini progresnya cuma nol koma sekian persen, sehingga tidak terasa. Coba kalau naiknya misalnya dari 70 ke 85 atau 90 persen, tentu akan terasa. Karena itu, pemerintah dalam mengelola anggaran harus fokus pada masalah tertentu yang mendesak dibutuhkan masyarakat. Dan, menurut saya, sektor pendidikan dan infrastruktur harus digenjot,” ujarnya. (sto)