Oleh: Moh. Husen*
Siapakah komite sekolah itu? Hati dan fikirannya berpihak kepada siapa? Pernahkah komite sekolah turut sedih terhadap wali murid yang dikecewakan sekolah? Pernahkah komite sekolah turut menitikkan air mata melihat anak-anak masih tingkat SD atau SMP belum pernah melihat ijazah sekolah aslinya?
Melalui telepon genggam seorang ketua komite sekolah mengharap agar wali murid jangan “mengganggu” kepala sekolah lagi, maksudnya apa? Apakah hanya kepala sekolah yang boleh sesuka hatinya kepada wali murid? Kenapa komite sekolah langsung bilang jangan diteruskan, dan tidak menggali informasi dari wali murid?
Apakah wali murid dipastikan salah dan kepala sekolah dipastikan benar, sehingga tanpa ditanya: wali murid langsung di-ultimatum stop, sementara kepala sekolah begitu didengar ceritanya? Atau jangan-jangan kepala sekolahnya orang kaya, sementara wali muridnya orang miskin sehingga tidak perlu didengar?
Atau komitenya sangat miskin sekali dan takut mati kelaparan sehingga “sangat menyembah” kepada kepala sekolah? Apakah menjadi komite sekolah merupakan jabatan yang prestisius sehingga kalau tidak pro kepala sekolah, takut dibuang dan kehilangan eksistensi ketokohan?
Mengapa komite sekolah tidak memilih menjadi pribadi yang punya harga diri daripada selalu menyelipkan diri di ketiak kepala sekolah? Siapakah yang membela dan menjembatani kepentingan wali murid, mulai dari mahalnya kain seragam, dan seterusnya? Apakah wali murid hanya ditagih uang sumbangan sekolah tanpa perlu di-orangkan?
Dari serangkaian tulisan: Hari Ibu atau Hari Guru; Pak Ratno, No Viral No Justice; hingga Komite Sekolah Pro Siapa? harus saya akhiri sampai di sini, bukan karena saya pesimis dan menduga bahwa orang-orang yang hidupnya sudah mapan tidak pernah bisa mendengar.
Melainkan teman-teman mulai berseloroh: “Kok nama sekolahnya tidak diperjelas? Apa sudah diajak ngopi, hehehehe…..” (*)
Banyuwangi, 25 Desember 2024
*Catatan kultural jurnalis Radar Jatim.id. Tinggal di Banyuwangi Jawa Timur.